Pong Tiku (Sulawesi Selatan)
Pong Tiku (Sulawesi Selatan)
Pong Tiku alias Ne' Baso dilahirkan pada tahun
1846 di Pangala, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Ia adalah putra Siambe Karaeng
penguasa adat daerah Pangala dan sekitarnya.
Tidak banyak yang diketahui mengenai kehidupan
masa kecilnya. Pada masa remaja, ia sering diikutsertakan oleh ayahnya dalam
pertemuan-pertemuan yang membicarakan masalah kemasyarakatan, seperti sengketa
adat dan cara-cara penyelesaiannya.
Ketokohan Pong Tiku alias Ne' Baso mulai
kelihatan ketika terjadi konflik bersenjata antara negeri Baruppu dan negeri
Pangala pada tahun 1880. Dalam konflik ini, ia ditugasi oleh ayahnya yang sudah
berusia lanjut, untuk memimpin Laskar Pangala. Negeri Baruppu dapat dikuasainya
dan dimasukkan ke dalam wilayah kekuasaannya. Sejak itu, kepemimpinannya diakui
oleh pemangku-pemangku adat lain di Tana Toraja. Dengan mereka, ia selalu
kerjasama untuk saling bantu.
Ia kemudian mengusulkan membangun benteng-benteng
dan melengkapi persenjataan, termasuk meriam yang diperolehnya melalui barter
dengan pedagang-pedagang kopi, Pong Tiku alias Ne' Baso juga menjalin hubungan
persahabatan dengan penguasa daerah-daerah lain seperti Pare-Pare, Sidendreng,
Sawitto, Wajo dan Palopo. Daerah-daerah ini merupakan jalur transportasi menuju
Tana Toraja.
Perkuatan pertahanan yang dibangun oleh Pong Tiku
alias Ne' Baso ternyata sangat bermanfaat pada waktu ia menghadapi serangan
militer Belanda ke Tana Toraja. Serangan ini merupakan rentetan dari serangan
Belanda terhadap kerajaan Bone yang ketika itu merupakan kerajaan terkuat di Sulawesi
Selatan. Setelah Kerajaan Bone ditaklukkan, pada tahun 1905 Belanda melanjutkan
operasi-operasi militernya ke kerajaan-kerajaan lain. Satu persatu kerajaan ini
mereka taklukkan, termasuk kerajaan Luwu dengan ibukotanya Palopo. Tana Toraja
pun merupakan sasaran untuk dikuasai.
Operasi militer Belanda untuk menduduki Tana
Toraja dimulai dari Palopo. Pada pertengahan bulan Maret 1906, setelah menempuh
perjalanan yang sulit, pasukan Belanda tiba di Bori. Mereka berhasil memaksa
beberapa pemuka adat untuk datang ke Bori dan menyerahkan senjata. Hal yang
sama dilakukan pula setelah pasukan ini tiba di Rantepao. Dari tempat ini, pada
akhir Maret 1906, Belanda mengirimkan surat kepda Pong Tiku alias Ne' Baso
meminta agar ia datang ke Rantepao. Pong Tiku alias Ne' Baso menolak dengan
tegas. Permintaan kedua yang disampaikan Belanda pada pertengahan April 1906,
juga ditolaknya. Setelah dua kali Pong Tiku alias Ne' Baso menolak untuk datang
ke Ranepao, Belanda memutuskan untuk melancarkan serangan ke benteng-benteng
pertahanan Pong Tiku alias Ne' Baso.
Oleh karena desakan itu, ditambah dengan
pertimbangan untuk memperoleh waktu bagi penyelenggaraan pemakaman ibunya, pada
akhirnya Pong Tiku alias Ne' Baso bersedia berdamai. Sebagai tanda kesediaan
berdamai, ia menyerahkan sejumlah kecil senjata kepada Belanda, sedangkan
sebagian besar disembunyikan dengan perhitungan akan digunakan pada waktu yang
akan datang. Untuk memperlihatkan "kebaikan hati", Belanda memberikan
hadiah kepada istri dan anak-anak Pong Tiku alias Ne' Baso.
Perdamaian itu hanya berlangsung selama tiga
hari. Pada tanggal 30 Oktober 1906, pasukan Belanda menyerbu benteng dan
menggeledah isinya. Mereka menemukan senjata dalam jumlah ratusan. Para
penghuninya diusir dari benteng, termasuk Pong Tiku alias Ne' Baso. Ia
diperintahkan kembali ke Pangala.
Setelah selesai menyelenggarakan pemakaman
ibunya, Pong Tiku alias Ne' Baso bersama sejumlah kecil sisa-sisa pasukannya
berusaha kembali melanjutkan perjuangannya. Ia bergabung dengan para pejuang di
benteng Ambeso dan Alla yang dipimpin oleh beberapa orang pemangku adat.
Benteng yang terletak di Tana Toraja bagian selatan ini seudah beberapa kali
dserang oleh Belanda, namun gagal. Akhirnya Belanda mendatangkan pasukan yang
lebih besar dari Rantepao dan Kalosi. Setelah melalui pertempuran sengit,
benteng Ambeso jatuh ke tangan Belanda. Benteng Alla yang merupakan benteng
terakhir di Tana Toraja direbut Belanda pada akhir Maret 1907.
Pong Tiku alias Ne' Baso berhasil menyelamatkan
diri. Ia kembali ke Pangala melalui hutan dan celah-celah bukit,
berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak mungkin lagi
mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan perjuangan, namun tetap tidak ingin
menyerah. Belanda berusaha mencari tempat persembunyiannya untuk menangkapnya
hidup atau mati. Usaha itu berhasil berkat bantuan seorang bekas anak buah Pong
Tiku alias Ne' Baso bernama Tappa yang dapat dibujuk Belanda. Ia mengetahui
bahwa Pong Tiku alias Ne' Baso bersembunyi di Lalikan.
Pong Tiku alias Ne' Baso ditangkap di Lalikan
pada tanggal 30 Juni 1907. Dari Lalikan ia dibawa ke Rantepao. Setelah ditahan
dalam penjara selama sepuluh hari, penguasa Belanda menjatuhkan hukuman mati
bagi Pong Tiku alias Ne' Baso. Ia ditembak di tepi sungan Sa'dan pada tanggal
10 Juli 1907. Jenazahnya dibawa oleh pihak keluarga ke Pangala dan dimakamkan
sesuai dengan tradisi masyarkat Toraja di Liang Tangelo, Pangala. Lima puluh
tiga tahun kemudian, bulan Desember 1960, Pemerintah daerah Sulawesi Selatan
memindahkan jenazahya ke Makam Pahlawan Tana Toraja.